makalah untuk Kuliah Umum
"Etos Kerja dan
Budaya Kerja Bangsa Jepang"
Jumat 1 Desember 2006, STIE PERBANAS SURABAYA
ISHIZAWA Takeshi, Ph.D Candidate (dari Universitas Tokyo)
website:http://www.02.246.ne.jp/~semar
@
Masyarakat Jepang: masyarakat yang tidak peduli pada agama
Saya mulai dari ciri-ciri khusus masyarakat
Jepang dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Perbedaan yang
paling besar antara masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah
masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut
campur dalam urusan agama. Dilarang keras memakai anggaran negara
untuk hal-hal agama.
iDalam pasal 20 tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh
diberi hak istimewa dari negara dan tidak boleh melaksanakan
kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan
kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89
tertulis bahwa uang negara tidak boleh dipakai untuk lembaga
agama. j
Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk sembahyang seperti mushala
di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen Agama,
tidak ada sekolah agama negara (seperti IAIN di Indonesia).
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab
tidak memeluk agama. Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli
agama. (Pada tahun 1996, mahasiswa yang mempercayai agama
tertentu hanya 7.6%).
Orang Jepang tidak peduli orang lain agamanya apa, dan kalau dia
mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka memamerkan
agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi
orang lain, dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Di Jepang pernah orang Kristen menjadi Perdana Menteri, namanya
OHIRA Masayoshi, Masa jabatannya dari tahun 1978 sampai 1980.
Memang jumlah orang Kristen cuma 1% dari penduduk Jepang, tapi
sama sekali tidak menjadi masalah dan sama sekali tidak
mempengaruhi kebijakannya. Hal itu tidak dikatakan karena
toleransi pada agama, lebih tepat disebut karena ketidakpedulian
orang Jepang pada agama. (Tetapi beberapa sekte tidak disukai
banyak orang.)
Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama
Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul
Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (1957)
menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die
Protestantische Ethik und der "Geist" des Kapitalismus
(1905), menjelaskan peranan nilai agama pramodern itu dalam
proses modernisasi. Tetapi menurut saya teori Bellah ini sangat
diragukan. Bellah mengatakan ajaran "Sekimon shingaku"
(Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk
modernisasi ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah
satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu sebagai etos seperti
Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras,
mirip dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang
modernisasi di dalam bidang ekonomi dilakukan oleh pemerintah
Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi negara.
Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di
Jepang tidak ada agama yang mendorong proses kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang
Jepang suka sekali minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang
Jepang masih berdisiplin, bekerja keras, masyarakat Jepang
sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman
(setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada
Indonesia. Bagi orang Jepang, porno, judi, minuman keras, semua
hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres. Kebanyakan
orang Jepang tidak sampai adiksi/kecanduan.
Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas apa?
Etika orang Jepang: etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk
hubungan baik di dalam komunitas. Kebesaran komunitas bergantung
pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga, perusahaan,
pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola
dll, bentuknya apapun, orang Jepang mementingkan komunitas
termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji
sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia
kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun
komunitas. Maka misalnya minum minuman keras juga tidak
dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk mendorong
rukun komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini.
Sedangkan Semitic monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam)
mengutamakan Allah daripada komunitas, dan memisahkan seorang
sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa
melarang Kristen. Tentu saja agama Buddha juga mengutamakan
Kebenaran Darma daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti
itu ditindas. Sementara Konfusianisme sengat cocok dengan etika
demi komunitas ini.
Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri tanpa syarat demi
komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang
Jepang.
Etos kerja dan budaya kerja orang Jepang
Sesudah perang dunia kedua, perusahaan Jepang
yang besar membentuk 3 sistem.
yaitu, (1). Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni
perusahaan biasanya tidak putus hubungan kerja. (2). Sistem
kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji
pekerjanya tergantung umur mereka. (3). Serikat pekerja yang
diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja
yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah
perusahaan, jenis kerja apapun, diorganisasi satu serikat
pekerja. Oleh ketiga sistem ini, pekerja menganggap kuat diri
sendiri anggota perusahaannya dan merasa kesetiaan kepada
perusahaannya. Di atas ketiga sistem ini, etos kerja dan budaya
kerja orang Jepang berkembang. Kenyataannya, ketiga sistem ini
dibentuk hanya di perusahaan besar, tidak ada di perusahaan
kecil. Tetapi ketiga sistem ini menjadi teladan bagi perusahaan
kecil juga.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja.
Tentu saja orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan
gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang Jepang
bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya "Seandainya anda
menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja
?", kebanyakan orang Jepang menjawab, "Saya tidak
berhenti, terus bekerja." Bagi orang Jepang kerja itu
seperti permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab.
Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin
berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri
sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat
penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa
pulang ke rumah. Fenomena ini disebut "work holic" oleh
orang asing. 2. mendewakan langganan
Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang mendewakan
client/langganan sebagai Tuhan. "Okyaku sama ha kamisama
desu." (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua
orang Jepang. Kata ini sudah motto bisinis Jepang. Perusahaan
Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat
mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang
dengan langganan.
3. bisnis adalah perang
Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai
perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka
membaca buku ajaran Sun Tzu (·q) untuk belajar strategis
bisnis. Sun Tzu adalah sebuah buku ilmu militer Tiongkok kuno,
pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka dibaca oleh baik
samurai dulu maupun orang bisinis sekarang. Untuk menang perang,
perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya bisinis
Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya
menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk
bertempur setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa
"Hara ga hette ha ikusa ha dekinu." (Kalau lapar tidak
bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah
menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus
makan dan mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang
perang,
kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar
kedisiplinan dilakukan cara yang sangat kejam. Tetapi sekarang
disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di sekolah sangat
penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut
pelajaran secara rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di
dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji, pendidikan disiplin
di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme
daripada ajaran agama apapun.
Introduksi "performance-paid system"
dan gagalnya
Sejak runtuhnya ekonomi Jepang pada awal 1990-an,
banyak perusahaan Jepang memPHK secara massal.
Mereka mengintroduksi sistem gaya Amerika, yakni performance-paid
system pada tahun 1990-an untuk mengirit biaya tenaga kerja.
Sistem ini gajinya dibayar menurut hasil kerjanya. Tetapi sistem
ini merusakkan team work di dalam perusahaan dan menghilangkan
kesetiaan pekerja pada perusahaannya. Rupanya bagi orang Jepang,
gajinya tidak menjadi motivasi kuat. Mungkin performance-paid
system dicabut lagi dan direkonstruksi sistem yang tradisional.
Etos kerja dan budaya kerja Jepang mungkin tidak begitu berubah.
Tetapi perusahaan Jepang memilih menjadi lebih langsing dan
ringan. Pekerja tetap menjadi terbatas, kebanyakan pekerja adalah
yang non tetap. Etos kerja pekerja non tetap ada kemungkinan
berubah drastis.
Referensi artikel website (Maaf, semuanya tertulis dalam bahasa
Jepang)
΄μαFERͺOquϊ{lΜJΟv
http://oohara.mt.tama.hosei.ac.jp/oz/542/542-02.pdf
Ρ@³χuϊ{Ioc_ΜΟJΖ’W]v
http://c-faculty.chuo-u.ac.jp/~hmasaki/99523jms.html
΄Lvu¬Κε`Μxv
http://www.sonpo.or.jp/business/library/public/pdf/yj22208.pdf
γΡ Y u]FTakeshi Inagami and D.
Hugh Whittaker The New Community Firm: Employment, Governance
and Management Reform in Japan v
http://www.b.kobe-u.ac.jp/publications/dp/2005/2005_25.pdf
----------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah ini untuk seminar di STIE PERBANAS SURABAYA pada 1
Desember 2006.
Pertanyaan dari peserta adalah, misalnya,
1. Adakah moral yang tidak berdasar atas agama ?
2. Saat bulan puasa, TKI di Jepang bagaimana keadaannya ?
3. Bagi orang Indonesia, budaya kerjanya yang mana lebih cocok,
budaya kerja Amerika atau Jepang ?
Untuk pertanyaan 1, saya menjawb bahwa tentu saja ada moral yang
tidak berdasar atas agama. Buktinya moral orang Jepang. Sedangkan
orang yang beragama tidak selalu bermoral. Di Indonesia ada
banyak yang sangat mementingkan wajib agama tetapi tidak peduli
wajib untuk orang lain atau masyarakat.
Tentang pertanyaan 2, pada umumnya orang Jepang tidak memganggu
ibadah puasa tetapi tidak mengdukung. Asalkan TKI itu tidak ada
masalah tentang efisiensi, tidak apa-apa. Tetapi jika turun
efisiensinya, dia dimarahi oleh atasannya.
Pertanyaan 3 itu menarik bagi saya. Walaupun ada konsep
"keluarga besar" di Indonesia, banyak direktor
perusahaan Jepang di Indonesia mengeluh bahwa orang Indoneisa
lebih individualistis daripada orang Jepang, dan lebih
mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan
perusahaannya. Individualisme Barat dan individualisme Indonesia
memang berbeda, tetapi mungkin bagi orang Indonesia budaya kerja
Amerika lebih cocok daripada budaya kerja Jepang. Tulisan yang di
bawah dipunuh dengan keluhan direktor perusahaan Jepang.
ChlVAΜϊnιΖͺΌΚ΅½βθΖΞα
(Masalah-masalah yang perusahaan Jepang hadapi di Indonesia dan
contoh caranya pemecahannya)
http://www.ovta.or.jp/info/investigation/idn_casebook/pdffiles/idn_casebook_comp.pdf
Tetapi akhir-akhir ini di Jepang kesenjangan ekonomi menjadi besar karena dampak globalisasi dan politik deregulasi oleh pemerintah. Kalau orang tidak bisa percaya perusahaannya, tentu saja hilang kesetiaannya pada perusahaannya. Pada masa depan, masyrakat Jepang ada kemungkinan menjadi masyarakat yang kesenjangan sangat besar seperti Indonesia atau Amerika. Saat itu, budaya kerja Jepang akan berubah sekali.
(Sabtu, 17 Maret 2007)
@