ringkasan untuk seminar
"Pemahaman Lintas Budaya Indonesia-Jepang: Pandangan Kaum
Muda Terhadap Kebudayaan"
Selasa 21 Juni 2005, Fakultas Sastra Universitas Airlangga
ISHIZAWA Takeshi, Phd. Cand.
Situasi yang mengelilingi pemuda
Jepang
1. Penurunan angka kelahiran dan semakin terlihatnya Masyarakat
Usia Tua.
2. Defisit keuangan negara (terlalu banyak obligasi negara) dan
keruntuhan sistem dana pensiun.
3. Resesi ekonomi dan sulit dapat kesempatan kerja bagi pemuda
Pesimisme terhadap masa depan
Akibat unsur di atas, pemuda Jepang sekarang merasa pesimis
terhadap masa depannya.
Mereka tidak bersemangat untuk mengatasi keadaan ini, menyerah
dan menerima saja nasibnya. (misalnya, tidak adanya gerakan
mahasiswa) Mereka tidak mengandalkan negara dan tidak peduli
terhadap politik.
Pada umumnya etos kerja dan taraf pendidikan oleh kaum muda tidak
turun. Hal ini dikarenakan oleh tuntutan masyarakat Jepang. Dan
kecendurungan suka menabung juga tidak berubah. Tetapi kalau
tidak ada pemerataan sosial-ekonomi, mungkin akan muncul kelompok
yang anarki dan putus asa.
Pemuda dan Agama
Bagi sebagian besar pemuda Jepang, agama tidak berguna untuk
memhilangkan rasa pesimis, cemas atau gelisah. Pemuda Jepang
sangat tidak peduli agama.(Pada 1996, mahasiswa yang mempercayai
agama hanya 7.6%)
Takut kalau berbeda dengan orang
lain
Pola tingkah-laku pemuda Jepang, mayoritasnya "conformism"
yaitu bertingkah laku seperti orang lain, karena takut kalau
berbeda dengan orang lain.
Mereka selalu saling berkirim SMS. Isi SMS itu tidak penting,
hanya mereka takut terisolasi dari teman-temannya.
Minoritas yang aktif: OTAKU
Kelompok yang tidak takut terisolasi adalah kelompok yang disebut
"Otaku". Tentu saja mereka minoritas. Tetapi jumlahnya
tidak sedikit, mungkin jutaan. Mereka juga sangat pasif terhadap
masyarakat dan tidak peduli, tetapi untuk hal yang mereka sukai,
mereka sangat aktif. Hal yang paling mereka sukai adalah manga,
anime dan game. Yang mereka utamakan adalah menikmati karya-karya
sub culture ini, jadi tidak peduli terisolasi dari orang lain.
Kemakmuran sub culture Jepang ditopang oleh Otaku.
Tetapi mereka hanya peduli terhadap manga, anime dan game,
kebanyakan karya mereka tidak mempengaruhi masyarakat luas.
--------------------------------------------------------------------------------
Tulisan di atas ini ringkasan untuk seminar yang dilaksanakan
pada tahun lalu di Universitas Airlangga. Karena terlalu singkat,
saya tidak memuatnya di website ini. Tetapi kali ini saya
menambah catatan dan baru mengumumkan.
Tentang agama
Dalam tanya jawab, saya ditanya
mengapa orang Jepang yang beragama begitu sedikit. Tentu saja
masalah ini terlalu besar bagi saya untuk menjawab. Saat itu saya
menjawab bahwa penyebabnya selama zaman Edo 250 tahun
Pemerintahan TOKUGAWA Bakufu tidak menjamin kebebasan agama,
serta sesudah zaman Meiji orang Jepang sibuk memperlajari hasil
peradaban modern Barat, tidak ada kesempatan untuk mempedulikan
agama. Tetapi sebaiknya saya menambah faktor bahwa pemerintahan
Meiji memaksa agama Shinto versi negara kepada rakyat. Serupa
dengan zaman Edo, sampai Perang Dunia Kedua selesai, rakyat
Jepang tidak dijamin kebebasan agama. Sesudah kalah Perang Dunia
Kedua, Shinto versi negara tidak berpengaruh lagi kepada rakyat.
Rakyat Jepang sibuk untuk memperbaiki kehidupannya di dunia ini
daripada dunia akhirat.
Dasarnya selama hampir satu
setengah abad, Jepang sibuk untuk usaha dunia ini.
Ketidakpedulian tentang agama tidak berarti masyarakat Jepang
tidak punya moral. Menurut pengalaman saya di Indonesia, orang
Jepang di bidang moral tidak lebih jelek daripada orang Indonesia.
Orang Islam dan Kristen (yaitu penganut agama Semitic monoteism)
cenderung berpikir moral berasal dari agama. Tetapi hal itu tidak
benar. Di Eropa juga, Adam Smith sudah menjelaskan asal moral,
tidak berdasarkan atas agama. Dalam karyanya "The theory of
moral sentiments" (Teori perasaan moral), moral berasal dari
naluri asli yang peduli terhadap orang lain, serta pengalaman
dalam masyarakat. Mungkin Ruth Benedict tidak pernah membaca
karya Smith ini. Ruth Benedict menggolongkan kebudayaan Jepang
sebagai "shame culture"(budaya malu) dan kebudayaan
Barat sebagai "guilt culture"(budaya dosa) dalam
karyanya "The Chrysanthemum and the Sword : Patterns or
Japanese Culture"(judul bahasa Jepang: "Kiku to Katana").
Kalau dia pernah membaca karya Smith ini, bisa memahami "guilt
culture" berdasarkan di atas "shame culture"dan
kedua-duanya tidak bisa dipisahkan.
Apalagi kedisiplinan, sama sekali tidak berdasar atas agama.
Seperti dikatakan oleh Lenin, instansi yang mengajar (atau
memaksa) kedisiplinan kepada manusia adalah pabrik dalam sistem
kapitalisme. Selain pabrik, kedisiplinan diajarkan di sekolah dan
tentara. Di Jepang sistem wajib pendidikan dan sistem wajib
militer sekaligus mulai berlaku pada awal zaman Meiji.
Memang orang Jepang tidak mempercayai agama tertentu, tetapi hal itu tidak berarti orang Jepang tidak melakukan ibadah agama. Pada tahun baru, kebanyakan orang Jepang berkunjung ke kuil Buddha atau kuil Shinto untuk berdoa keselamatan dan kebahagiaan selama tahun baru ini. Ini namanya hatsumoude ("hatsu" berarti pertama kali, "moude" berarti ziarah ke kuil atau tempat suci). Saat itu kuil-kuil terkenal sangat ramai. Satu tahun beberapa kali, terutama hari ulang tahun meninggalnya kerabat dekat atau bon (pertengahan bulan Juli atau Agustus) atau higan (21 Maret dan 23 September) berziarah ke makam nenek moyang. Ini namanya hakamairi. ("haka" artinya makam, "mairi" artinya pergi, ziarah). Saat menikah, banyak orang yang melakukan upacara pernikahan di gereja. Tetapi pada umumnya orang Jepang tidak tahu ajaran agama dan tidak punya minat pada ajarannya. Orang Jepang sendiri menganggap semua itu kebiasaan, bukan kegiataan agama.
suasana hatsumoude di Heian Jinguu di Kyoto, kuil Shinto yang terkenal (foto kiri) dan hakamairi (foto kanan)
Tentang porno
Pertanyaan lain adalah mangapa
komik Jepang banyak porno. Tetapi walaupun bagi orang Indonesia
kebanyakan komik Jepang berbau porno, dari standar Jepang
kebanyakan komik Jepang bukan porno. Tentu saja gambar wanita
cantik disukai oleh pembaca laki-laki. Sejak zaman Edo, gambar
porno sudah menjadi satu unsur yang penting dalam kesenian Jepang.
Hampir semua pelukis besar Ukiyoe (grafis cukilan kayu
tradisional Jepang), misalnya KITAGAWA Utamaro (1753 ? - 1806),
KATSUSHIKA Hokusai (1760 - 1849), SUZUKI Harunobu (? - 1770),
melukis porno. (Untuk menghindari kesalahpahaman, saya menegaskan
bahwa komik porno Jepang bukan dikembangkan dari ukiyoe porno.
Komik porno juga satu genre komik, maka tidak ada kaitannya
dengan ukiyoe. Komik yang berbau porno untuk remaja muncul pada
akhir tahun 1960-an, dan ketika itu muncul unsur seksual dalam
komik untuk anak, seperti karya NAGAI Go^ "Harenchi Gakuen"
artinya "Sekolah yang tidak senonoh". Maksud saya
adalah sejak zaman Edo budaya yang populer Jepang mengandung
porno.) Ukiyoe berdampak besar kepada pelukis Barat, misalnya
Gaugin dan Gogh. Sekarang baik Ukiyoe biasa maupun Ukiyoe porno
dinilai tinggi sebagai kesenian di seluruh dunia, dijual-belikan
dengan harga mahal sekali. Tentu saja, meskipun dinilai sebagai
kesenian yang bernilai tinggi, di sekolah di Jepang tidak
mengajar ukiyoe yang porno. Murid sekolah hanya belajar ukiyoe
biasa.
Pada saat ini komik porno Jepang juga digemari di seluruh dunia.
Di negara Timur Tengah juga disukai anime Jepang yang cukup
erotis. (Buktinya lihat situs BBS ini yang tertulis dalam bahasa Arab. Pasti dari standar Timur Tengah anime ini tergolong
sejenis porno.) Komik porno juga salah satu perwujudan daya
kreatif. Sebagai orang Jepang, saya sangat merasa bangga daya
kreatif komik Jepang dinilai tinggi di seluruh dunia. Memang ada
komik porno yang jelek dan membosankan, tetapi hal ini sama dalam
bidang kesenian lain. Kalau ada yang mau mengkritik komik porno
Jepang, mereka harus mawas diri apakah mereka bisa menulis komik
yang lebih unggul.
Akhir-akhir ini masalah majalah Playboy versi Indonesia menghebohkan Indonesia, tetapi kalau melihat sejarah Jepang keberadaan porno tidak begitu mempengaruhi moral. Setidak tidaknya 300 tahun lalu ukiyoe porno sudah beredar cukup luas dalam masyarakat Jepang. Kalau moralnya rendah, mana mungkin Jepang menjadi negara modern melalui Restorasi Meiji ? Kalau saya mengatakan tentang RUU anti porno, Indonesia masih ada banyak masalah yang jauh lebih berat daripada masalah porno. Masalah paling penting di bidang moral adalah memberantas korupsi dan menegakkan hukum dan keadilan. Walaupun dipenuhi dengan porno, toko mesin judi Pachinko, suka sekali minum minuman keras, masyarakat dan negara Jepang masih berjalan, lebih tertib dan efisien dan bersih daripada Indonesia. Dilihat dari pandangan orang Amerika, katanya porno Jepang lebih brutal daripada porno Amerika. Tetapi di Jepang kasus perkosaan jauh lebih sedikit daripada Amerika. Di Arab Sudi mungkin tidak beredar porno, tetapi orang Indonesia sudah tahu betapa banyak terjadi tragedi TKW Indonesia di sana. Tingkat moral dan angka kriminal seksual tidak selalu tergantung pada keberadaan pornografi. Walaupun bisa memberantas pornografi, tetapi jika dipenuhi korupsi dan tanpa keadilan, masyarakat tersebut menjadi busuk. Menurut kesan saya, RUU anti porno itu seperti orang yang seluruh badannya berlumuran kotoran mau mencuci ujung jari saja. Soal moral itu masalah hati. Moral tidak bisa didorong oleh undang-undang. Pada intinya saya tidak bisa mengerti mengapa ada yang mau membuang kebebasan berekspresi yang diinjak-injak selama Orde Baru dan baru mulai pulih hanya 8 tahun lalu ?
Saat seminar saya tidak menyediakan contoh ukiyoe, sekarang saya
akan memperkenalkan karya KITAGAWA Utamaro.
foto kiri: Ukiyoe porno oleh Utamaro. (Sayangnya saya memotong
bagian kemaluan dari gambarnya, karya pelukis maestro sperti
Utamaro. Ada yang mau melihat gambar yang utuh, silakan lihat
situs Jerman ini. http://www.rogersart.de/Sex/Utamaro/index.htm )
foto tengah: Ukiyoe "Nanbaya Okita" oleh Utamaro. Okita
adalah nama pelayan salah satu mizutyaya (kafe zaman Edo) namanya
Nanbaya.
foto kanan: gambar manga pelayan "maid cafe". Maid cafe
adalah kafe yang pelayannya berseragam seperti maid melayani tamu.
Sekarang maid cafe ada banyak di sekitar kota Akihabara, kota
komputer dan alat listrik, tanah suci untuk Otaku. Pada zaman
Utamaro 200 tahun lalu dan zaman sekarang, pelayan kafe menjadi
tema lukisan.
Tentang bunuh diri
Selain itu, saya ditanya mengapa
pemuda Jepang suka bunuh diri bersama dan mengapa sastrawan
Jepang suka bunuh diri. Kalau melihat statistik, memang Jepang
tergolong negara-negara paling tinggi angka kasus bunuh dirinya.
Negara negara ex Uni Soviet dan Hungaria angka bunuh dirinya
paling tinggi di seluruh dunia. Kemudaian Jepang. Sedangkan
Inggris, Amerika, Belanda, Italia, Espanyol tidak tinggi. Angka
bunuh diri negara-negara ini kira-kira separoh dari Jepang.
Sedangkan Finland, Bergia, Swiss cukup tinggi.
Di Jepang, pada 1998 angka bunuh
diri melonjak, menjadi 24.0 lebih per 100 ribu orang dan
jumlahnya mencapai 30 ribu orang lebih dari 17.2 per 100 ribu
orang dan jumlahnya 21ribu orang pada 1995.
Latar belakang melonjaknya angka bunuh diri adalah keadaan
ekonomi yang tidak baik. Kebanyakan pelaku bunuh diri adalah laki-laki
yang berusia 50-an. Kebanyakan alasan dikarenakan kehilangan
pekerjaan. Bagi mereka, alasan bunuh diri bukan karena kemiskinan.
Biasanya, pria setengah baya seperti mereka terus bekerja puluhan
tahun di perusahaan yang sama, tanpa pindah perusahaan. Bagi
orang yang seperti mereka, jika di-PHK merasa dikhianati
kehidupannya secara total. Mereka bekerja sunguh-sunguh selama
puluhan tahun demi perusahaannya. Tetapi sumuanya sia-sia saja.
Mereka merasa kesetiaannya untuk perusahaan tersebut dikhianati.
Ada yang membunuh diri sebagai protes kepada perusahaannya yang
mengkhianati dia, ada yang karena putus asa. Tentu saja
kebanyakan dari mereka mencoba untuk mencari pekerjaan baru.
Tetapi karena keadaan ekonomi Jepang tidak baik, susah untuk
dapat pekerjaan baru. Puluhan kali melamar untuk lowongan kerja,
tetapi semua perusahaan menolaknya. Mereka merasa malu dan harga
dirinya merosot. Lagipula, karena dipecat pendapatannya turun
drastis, keluarganya menderita dan kesulitan. Mereka, yang
bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarganya, sangat merasa
malu. Mereka bunuh diri sebagai tanda meminta maaf pada
keluarganya. Ada yang bunuh diri agar keluarganya dapat uang
asuransi jiwa.
Alasan bunuh diri orang setengah baya utamanya adalah masalah PHK, tetapi bagi mereka bunuh diri itu tidak hanya karena putus asa dan rasa malu. Bunuh diri itu protes pada perusahaan, tanda meminta maaf atas ketidakmampuan kepada keluarganya, sarana dapat uang asuransi jiwa. Tetapi jika dibandingkan dengan negara lain, boleh dikatakan di Jepang masih kental budaya bunuh diri. Kalau di Indonesia orang yang di-PHK membunuh diri, pasti penduduk Indonesia turun drastis. Di Jepang masih ada kecendurungan bunuh diri dianggap tidak melanggar moral bahkan cocok dengan moral. Bunuh diri tidak dilihat sebagai tindakan yang tidak bertanggungjawab, bahkan dilihat sebagai salah satu cara pertanggungjawaban. Bunuh diri itu berarti hukuman mati kepada diri sendiri. Hal yang tragis lagi, kalau seorang anak melakukan kasus kriminal yang memhebohkan masyarakat gilanya kadang-kadang orang tuanya melakukan bunuh diri. Tentang hal ini, masyarakat Jepang memang masih masyarakat feodal.
Kalau dibandingkan dengan orang stengah baya, remaja yang bunuh diri tidak banyak. Apalagi yang bunuh diri bersama dengan orang yang tidak kenal, sedikit saja, hanya kurang 100 orang. Memang sekarang muncul fenomena baru seperti cari kawan untuk bunuh diri bersama melalui internet. Saat ini website semacam mengajak bunuh diri segera dicabut oleh internet provider (IPS). Orang dewasa bunuh diri sendirian saja, tetapi mengapa ada remaja yang mau benuh diri bersama ? Saya sama sekali tidak bisa membayangkan ada orang yang bunuh diri bersama dengan orang tidak kenal. Bagi orang dewasa alasan bunuh diri adalah kebanyakan masalah ekonomi, masalah kesehatan, masalah keluarga. Bagi remaja, utamanya faktor psikologis. Mereka merasa terisolasi, mungkin saat mati tidak mau terisolasi.
Tentang bunuh diri sastrawan, saya
tidak tahu benar atau tidaknya bahwa sastrawan Jepang lebih suka
bunuh diri daripada sastrawan negara lain. Pada umumnya sastrawan
lebih suka bunuh diri daripada orang yang biasa. Jadi tidak
terbatas Jepang, di negara lain banyak sastrawan bunuh diri.
Misalnya Hemingway yang dapat hadiah Nobel, Verginia Woolf, ,
Mayakovski, Nerbal, Jack London, Stephan Zweig, Walter Benjamin,
Sadeq Hedayat, dan masih banyak lagi.
Tetapi kalau di Jepang masih kental budaya bunuh diri, sastrawan
Jepang tidak bisa lepas dari budaya ini. Walaupun begitu,
sastrawan Jepang yang bunuh diri, seperti KITAMURA Toukoku,
ARISHIMA Takeo, AKUTAGAWA Ryunosuke, DAZAI Osamu, MISHIMA Yukio,
KAWABATA Yasunari, semuanya alasannya berbeda. Tidak bisa
digeneralisasi.
Tentang etimologi Otaku
Saya akan menambah informasi
etimologi tentang Otaku. Otaku adalah kata hormat untuk rumah
orang lain, dalam bahasa Jawa "griya". Tetapi kata
otaku ini digunakan sebagai kata padanan "Anda" atau
"kamu". Kalau digunakan kepada lawan bicara, kata otaku
terkesan tidak akrap. Tidak sopan tetapi tidak kasar. Menunjukkan
jarak yang tidak dekat. Biasanya kata ini tidak begitu sering
dipakai sebagai kata padanan "Anda" atau "kamu",
tetapi penggemar fanatik manga atau anime sering memakai kata ini
kepada lawan bicara. Oleh karena itu penggemar fanatik anime dan
manga dipanggil "otaku".
Kebudayaan Jepang itu apa
?
Saat seminar itu, pertanyaan yang
mengagetkan saya adalah "pokoknya kebudayaan Jepang itu apa
?" Kok, tidak ada orang yang bisa menjawab untuk pertanyaan
seperti itu. Kebudayaan Jepang sejarahnya cukup panjang, sangat
beranekaragam. Tidak bisa memberi definisi. Saya menjawab bahwa
kebudayaan Jepang merupakan kebudayaan yang dibuat oleh orang
Jepang. Kalau mencabut unsur-unsur dari luar (Tiongkok, Korea,
Siberia, India, Asia Tenggara, Barat, dll), kebudayaan Jepang
menjadi hampa. Kebudayaan Jepang itu campuran unsur-unsur
anekaragam dari luar. Seorang novelis SAKAGUCHI Ango (1906-1955)
dari karyanya "Nihon Bunka Shikan" (Pandangan pribadi
tentang kebudayaan Jepang)
mengatakan bahwa walaupun terdiri dari tiruan luar negeri,
asalkan berdasar di atas kebutuhan bangsa sendiri kebudayaan itu
kebudayaan sejati dan asli. Saya sangat setuju dengan kata Ango
ini.
(Senin, 3 April 2006)